Qalbun Salim; Hati Yang Selamat Dari Syubhat Dan Syahwat
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu)
pada hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Tanpa kecuali, semua manusia tengah berjuang untuk bertemu dengan Allah.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS.Al-Insyiqaq: 6)
Semua akan menemui Allah dengan bekal yang telah mereka usahakan di dunia. Meskipun pada akhirnya ada yang keliru membawa bekal. Apa yang dibawanya justru menjadi beban yang menyengsarakan dalam perjalanan dan berubah penderitaan di akhir perjalanan.
Allah menyebutkan, bahwa bekal yang bermanfaat dan akan menyelamatkan manusia ketika bertemu dengan Allah adalah Qalbun Salim, hati yang selamat. Tampaknya, seluruh hal yang diusahakan manusia menjadi tidak berguna. Termasuk harta dan anak-anak.
Makna Qalbun Salim
Tidak ada yang menyanggah, bahwa unsur paling penting dalam jasad manusia adalah hati. Posisi hati bagi anggota badan yang lain laksana raja bagi rakyatnya, panglima bagi tentaranya, atau mirip pemegang remote control bagi barang elektronik. Segala gerak-gerik dan ucapan dikendalikan oleh hati.
Hati yang mampu mengenali Allah, hati pula yang memilih iradah, kemauan untuk mentaati Allah, sedangkan anggota badan hanyalah sebagai pelengkap dan alat yang membantu keinginan hati. Jika hati baik, jasad akan mengikutinya, dan jika hati rusak, anggota badan lain akan mentaatinya pula. Jika hati selamat, semua akan selamat, jika hati binasa, yang lain turut sengsara.
Lalu, seperti apakah gambaran hati yang selamat, yang mewakili karakter hati yang paling baik itu?
Persepsi sebagian orang, orang yang memiliki hati yang baik itu tidak memiliki musuh, tidak memiliki pantangan, bisa berbaur dengan siapapun, toleran kepada apapun, berkawan dengan kelompok mana pun.
Sebagian lagi menyelisihi syariat yang zhahir, lalu berdalih “Yang penting hatinya baik”. Seperti pernyataan seseorang artis sepulang umrah, ia kembali membuka auratnya, melepas kerudungnya dengan alasan yang penting hatinya berhijab. Ini adalah jawaban yang hanya layak diutarakan oleh orang yang hatinya terhijabi (tertutup) dari kebenaran. Karena bukti kabaikan hatinya adalah tunduk dengan syariat yang dibawa olleh Muhammad yang mengharuskan wanita untuk berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya.
Hati yang selamat, hati yang baik akan tercermin dalam seluruh aktivitas batinnya dan lahir pemiliknya.
Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangannya. Hati yang selamat dari syubhat yang menyelisihi khabar-Nya.
Penyakit Syahwat dan Penyakit Syubhat
Semua kesesatan dan maksiat bersumber dari dua penyakit itu. Karena dorongan syahwat, orang yang telah memiliki ilmu tentang yang wajib menjadi enggan untuk melaksanakannya-Nya. Karena syahwat, maksiat dan dosa dilakukan dengan penuh kesadaran. Ia tahu, apa yang diperbuatnya adalah dosa, tapi ajakkan syahwatnya mengalahkan ilmunya. Hingga ketika syahwat berkali-kali menang, ia menjadi raja bagi pemiliknya. Apa yang menjadi pilihannya adalah pilihan syahwatnya, dan apa yang dikerjakannya adalah order dari syahwatnya. Ia jadikan hawa nafsu sebagai tubuhnya.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesaat berdasarkan ilmunya-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya.?” (QS. al-Jatziyah: 23)
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa syahwat. Allah juga menciptakan binatang dengan menyertakan syahwat tanpa akal. Lalu Allah menciptakan manusia dengan menyertakan akal dan syahwat. Maka barang siapa yang akalnya mengalahkan syahwatnya, ia lebih mulia dari malaikat, dan barangsiapa yang hawa nafsunya selalu mengalahkan ilmunya, ia lebih hina dari binatang.”
Pemilik Qalbun Salim, hatinya selamat dari penyakit syahwat, jika mencintai, ia mencintai karna Allah, jika ia memberi. Jika ia membenci, membenci karna Allah, jika ia memberi, memberi karena Allah. Jika menolak, ia menolak karena Allah. Tak hanya sampai disitu, ia bersihkan diri dari ketundukan dan berhukum kepada syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Adapun penyakit syubhat adalah penyakit yang menimpa pemahaman. Hal itu bisa disebabkan karena keliru dalam memilih sumbernya. Atau dari sumber yang benar, namun salah dalam mengambilnya. Hasil akhirnya adalah keyakinan sesat, pemikiran yang menyimpang dan amalan-amalan yang bernilai bid’ah. Penyakit ini sangat fatal, karena darisinilah penyimpangan bermula, sementara pelakunya menganggap telah berbuat yang paling baik. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” yaitu orang-orang yang telah sia-sia (sesat) perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS.al-Kahfi: 103-104).
Hati yang selamat akan mengambil dari sumber yang bersih, al-Qur’an dan as Sunnah, serta ijma’ para ulama, lalu mengambil dengan cara yang benar pula. Mereka memahami ayat dan hadits sebagaimana yang dipahami oleh Nabi saw, dan para sahabatnya. Seperti yang diingatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya kalian nanti akan mendapatkan suatu kaum, mereka mengklaim sedang mengajak kalian kepada al-Qur’an, padahal sesungguhnya mereka telah membuangnya dibelakang punggung mereka, maka hindarilah tindakan melampaui batas, berlebih-lebihan, dan perbuatan bid’ah, hendaknya kalian berpegang kepada pemahaman salaf.” Wallahu a’alam.
Sumber: majalah ar risalah edisi 85